Cukup untuk membuatnya tersentak.
Matanya melayang ke segala arah, menerka apa yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak.
Mungkin matahari? Namun belum pagi.
Mungkin isyarat untuk berlari? Namun belum ingin beranjak pergi.
Mungkin sebuah memori? Ah, sepertinya lebih pasti.
Bermalam-malam ia bangun seperti ini, memimpikan sesosok pribadi.
Membangunkannya seperti maling di malam hari, mengusik alur sang dini hari.
Ah, tidak tahu sopan santun pikiran-pikiran ini.
Ia tahu seorang itu sudah lama pergi.
Jauh raganya berlari, tak ada tanda akan kembali.
Namun jiwanya muncul lagi, muncul lagi — hatinya kalut tak terkira kali ini.
Cukup sudah nostalgia akan patah hati.
Sampai kapan harus seperti ini?
Simpan saja, esok akan ada lagi.
Lalu untuk apa menghabisi awal hari?
Lebih baik tidur saja lagi.
(i.t)