"Jangan mendekat. Jangan mendekat."
Kamu ternyata kembali. Aku hampir beranjak pergi.
Kamu tulus. Sangat tulus.
Aku terdiam. Berpikir — ada manusia setulus kamu.
Kamu tersenyum. Aku tersipu malu.
Aku merenung. Berpikir — mengapa kamu masih membutuhkanku, masih menginginkanku.
Kamu tertawa. Aku tersenyum.
Aku terpaku. Berpikir — apa kurang aku mengungkapkan rasa terima kasih kepada kamu; yang masih saja memaafkan aku?
"Tidak."
Kamu mendekat. Aku tidak bergerak.
Dalam jarak pandangku hanya ada kamu. Sekarang — di pikiranku hanya ada kamu.
"Apa kamu akan pergi?"
Aku tahu suatu hari nanti kamu akan pergi.
Entah sehari, seminggu, sebulan, setahun, semasa depan lagi... Yang jelas, aku tahu kamu akan pergi.
Tunggu. Lebih tepatnya aku atau kamu yang akan pergi. Akan ada sebuah kapan, namun masalah siapa yang pergi, aku tidak tahu pasti. Namun aku tahu pasti bahwa itu urusan sang alam. Bukan lain pula ulah sang waktu.
Kamu tertunduk. Aku tersadar.
Masalah kepergian bisa terjadi kapan saja. Bisa saja tadi apabila aku melangkah pergi. Bisa saja tadi apabila kamu tidak memilih untuk kembali.
Aku egois. Karena aku tidak ingin kamu pergi. Begitu juga kamu.
Kamu egois. Karena kamu ingin aku tetap disini. Begitu juga aku.
Namun biarlah;
Sebelum kamu memilih untuk pergi;
Sebelum aku memilih untuk tidak kembali;
Sebelum kita tak kuasa egois lagi;
Sebelum kita hilang ditelan semesta;
Sebelum terlambat sudah semuanya;
Pegang tanganku. Jangan lepaskan. Abadikan jari-jemari ini. Sebelum terlepas dari genggaman.
"Tidak. Maafkan aku."
Aku melayangkan beribu terima kasih. Kamu mendekap ragaku.
Aku menghela nafas. Kamu menutup matamu.
Kamu berarti. Sangat berarti.
Aku berharap. Kamu berdoa.
"Jangan pergi. Jangan pergi."
(i.t)